Rabu, 03 November 2010

Penantian yang Tak Berujung

Malam begitu kelam, rintik hujan mengguyur sejak sore, gelegar nan di cakrawala bagaikan kilauan pijar yang saling bersahutan, dan kini angin pun ikut menyemarakkan seolah tak ingin ketinggalan dari dahsyatnya pesta alam yang semakin mencekam.

Di sudut terminal, duduklah seorang gadis yang nampak semakin lusuh, hanya sinar mata yang masih mampu mengisyaratkan betapa tinggi semangat untuk menjalani hidup. Dinginnya malam tak ia hiraukan, matanya terus mengawasi di kegelapan malam laksana seekor serigala yang mengincar mangsanya.

Sesekali ia membuka lembaran surat yang telah lusuh dan di bagian tengahnya yang koyak karena seringnya dibaca dan dilipat. Mulutnya yang mungil kembali menembang sebuah lagu yang tiada bosan ia tembangkan setiap saat. Bis demi bis, detik demi detik, tak lelah jua ia menanti sang pujaan hati. Genap sudah 1 tahun ia menunggu di terminal ini, namun yang ditunggu pun tiada pernah kunjung.

Tanggal 2 Agustus aku datang, tunggu kedatangan ku ya.

Aku akan menjemputmu dan ku perkenalkan dengan orang tua ku

Begitu isi surat itu, hingga tanggal 2 Agustus yang kedua kalinya belum juga Nampak sang pujaan hati. Dan kini hari demi hari, bulan pun silih berganti hingga tanggal 2 Agustus yang ketiga kalinya, sang gadis tetap menanti dengan setia di terminal ini.

“Laras, sudah malam. Nggak baik malam-malam masih duduk di terminal” sapa pak Tomo sambil membereskan dagangannya. Sang gadis yang disapa hanya tersenyum dan mengangguk, tak menunggu dua kali teguran, Laras pun segera bangkit menuju gubuknya di pinggir kota.

“Kasihan Laras, hidup sebatang kara, punya kekasih tapi ditinggal pergi. Aaaaarghzz….” Keluh pak Tomo sambil mengelus dadanya, tak tahan rasanya ia membiarkan Laras hidup luntang-lantung seperti ini. Namun, apa daya pak Tomo pun juga orang susah, untuk menghidupi keluarganya pun terasa mencekik dirinya. Hanya do’a dan semangat jua yang selalu ia berikan pada Laras.

************************************************

Di dalam rumahnya, Laras hanya tiduran di tikar yang lusuh di sudut ruangan gubuknya. Perih batin yang ia rasakan, namun ia genggam kuat dan sebisa mungkin ia tetap bertahan.

“Aku tak boleh menyerah, aku yakin mas Arif pasti menepati janjinya” bisik Laras seolah kata itu untuk menguatkan dirinya sendiri, meski rasanya mustahil namun ia harus tetap yakin. Tak terasa ia pun ikut larut dalam gelapnya malam, untuk bersemayam di istana mimpinya.

Pagi sekali Laras kembali bangkit dari peraduannya, menyiapkan segala keperluan dagangannya untuk dibawa ke pasar. Jika dagangannya habis, ia kembali duduk di sudut terminal terkadang pula ia ikut membantu pak Tomo berjualan. Di dunia ini ia merasa kuat karena kasih sayang keluarga pak Tomo yang diberikan padanya, namun jauh di lubuk hatinya, hatinya terasa perih dan hancur.

“Tuhan kasih aku kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan untuk menjalani hari-hari ku. Ku yakin, semua ini kan berakhir dengan indah. Ku yakin, Kau pasti akan memberikan yang terbaik untuk hidup ku baik di dunia maupun di akhirat.” Lantunan sebait do’a yang ia ucapkan di setiap waktu, dan setiap itu pula air mata selalu mengucur deras menggenangi wajahnya yang manis.

Kembali ia menerawang menatap kosong di langit, bibirnya menyungging senyum penuh arti kemenangan seolah ia mendapatkan jawaban dari do’a yang selalu ia ucapkan. Lalu dengan cepat ia berlari menyusuri terminal tua ini dengan nafas yang memburu.

Braaaaaaaagg……….

Suara tabrakan yang berdenting keras mengagetkan seluruh pengguna terminal.

“Liat-liat dong mbak kalau jalan” seorang pemuda berwajah tampan yang sepertinya berasal dari luar kota meneriaki Laras yang juga terhuyung hingga kepalanya terbentur tembok.

“Maaf mas” balas Laras seraya menundukkan kepalanya tak berani menatap mata pemuda itu, dan bergegas ia kembali berlari. Ntah apa yang ia kejar, namun hatinya benar-benar merasa ringan dan bahagia. Laras berlari tanpa arah dan tujuan, ia masih tetap menggenggam erat surat sang pujaan hati yang selalu ia nantikan, matanya berbinar, bibirnya menyungging senyum kebahagiaan. Ingin rasanya ia menjerit, melepaskan semua beban yang ia pikul selama ini. Di depan pasar ia terhenti, ketika mendengar suara teriakan bu Tomo. Laras tersenyum, dan saat itu juga ia merasakan guncangan hebat pada tubuhnya. Seolah ia dapat merasakan betapa kuatnya rotasi bumi yang selama ini belum pernah ia rasakan. Sekejap saja ia sudah merasakan tubuhnya serasa melayang, sesak di dada kembali muncul sehingga ia benar-benar tak dapat bernafas, gaduhnya suara orang lalu lalang semakin terdengar riuh hingga semua benar-benar terasa senyap dan gelap.

“Laraaasssss…………..” pekik bu Tomo, semua dagangan yang ia gendong serta merta ia lempar ketika menemukan tubuh Laras bersimbah darah. Hingga akhirnya sebuah Ambulance datang dan membawanya pergi.

************************************************

Tiga bulan telah berlalu, kini Laras kembali tersenyum dan kembali duduk di sudut terminal memandang keadaan sekitar dan ditemani pak Tomo yang sedang menggelar dagangan makanannya di terminal. Peristiwa kecelakaan itu membuat pak Tomo dan bu Tomo semakin sayang pada Laras, dan kini Laras telah diangkat menjadi anaknya. Bahagia rasa hati Laras, namun ia tetap setia menanti pujaan hatinya dengan hati yang kuat.

“Pak” panggil Laras pada pak Tomo.

“iya, ada apa nak? Katakan sama bapak” jawab pak Tomo dan segera mendekatinya.

“Bila bertemu mas Arif katakan padanya, aku tetap menanti dia” sambung Laras. Kemudian Laras pun memejamkan matanya dan lagi-lagi bibirnya tersenyum manis. Kertas surat yang ternoda darah saat kecelakaan tiga bulan yang lalu tetap ia genggam, hingga akhirnya kertas itu terlepas dari genggamannya. Pak Tomo hanya merunduk sesenggukan dan memegang erat tangan Laras, entah mengapa rasanya ia begitu mengikhlaskan kepergian Laras. Mungkin hanya dengan ini, penderitaan Laras di dunia akan berakhir.

“Semoga engkau bahagia di sana nak” ucap pak Tomo disela tangisnya, hingga tanpa disadari dua pasang mata ikut menangis di belakang pak Tomo ikut melepas kepergian Laras. Itulah bu Tomo dan seorang pemuda yang pernah Laras tabrak sebelum peristiwa kecelakaan itu.

“Pak, saya turut berduka cita. Saya Antoni, keponakannya mas Arif. Maaf saya baru bisa menemukan mbak Laras, karena saya benar-benar tidak mempunyai petunjuk untuk menemuinya. Sebenarnya mas Arif sudah meninggal sejak tiga tahun yang lalu, dia kecelakaan ketika akan berangkat ke sini, dan saya hanya diberi pesan untuk datang ke kota ini menemui mbak Laras. Tapi ternyata saya pun juga terlambat”, pemuda itu menerangkan pada pak Tomo sambil sesenggukan, begitu pula dengan pak Tomo dan bu Tomo, mereka hanya bisa pasrah dengan takdir. Tak ada kata yang terucap, hanya air mata yang sanggup berbicara menggambarkan suasana hati mereka saat ini.

Selasa, 02 November 2010

RINDU DAN CINTA

Di tepi jendela bis kota, aku duduk termangu menatap jalanan Solo yang begitu padat, panas terik matahari tak ku hiraukan, aku tetap terdiam di tengah hiruk pikuknya penumpang. Angin menerobos melalui celah jendela, ku rasakan semilirnya seolah membelai lembut dan ku biarkan mereka semakin merasuk dalam hati, fikiran dan jiwaku. Tanpa terasa aku terpejam menikmati suasana kedamaian dan sepiku dalam keramaian, hingga aku tersentak ketika seseorang di sampingku tanpa sengaja menyenggolku. Aku hanya menoleh sebentar, dan saat itulah mataku terbentur pada sekelebat dua bayangan tersenyum dan melambai kearahku. Aku hanya terdiam, mencoba tak peduli dengan semua keadaan ini.

“Campus… yang Campus…” teriakan kondektur membuatku semakin terkejut, segera aku mengikuti tapakan kaki beberapa perempuan yang turun di depan Campus.

Kembali aku membiarkan anganku mengalir mengikuti jejak kaki ku, lagi-lagi dua bayangan itu kembali menyapaku, aku tetap tak peduli juga. Di bawah pohon nan rindang, aku merentangkan tanganku, semilir angin kembali membelaiku lembut, aku hanya dapat terpejam menikmati setiap belaian demi belaian dan mengikuti desahan nafasku yang semakin pelan namun pasti.

“Qiqiqiqiqiqiqiqiqiqiq…..” suara tawa yang seolah mengejekku menyadarkanku dari anganku. Kembali ku melihat dua bayangan itu, mereka seolah menggodaku, mengajakku bercanda, bermain dan bernyanyi hingga aku tenggelam dalam jiwa mereka.

Aku segera menapakkan kakiku, ketika aku tersadar di sudut langit sedang berkabung dan segera ingin menangis menumpahkan segala kemelut yang sudah tak mampu lagi ia pendam. Aku berlari kecil, sesekali aku menyanyi lirih, sangat lirih bahkan mungkin telingaku sendiri tak dapat mendengarnya. Lagi-lagi aku terhipnotis oleh rayuan music alam yang semakin semarak nan syahdu, “hijau warnamu, sejuk, damai, dan aku suka suara bisingmu” seolah aku berbisik pada pohon-pohon yang menyapaku.

Dua bayangan kembali menyapaku, aku hanya tersenyum. Senyum ikhlas yang belum pernah ku berikan untuk mereka, yaa… dua bayangan itu tak lain adalah cinta dan rindu. Mereka selalu datang menyapaku, apalagi ketika aku merasa sendiri, mereka selalu mengajakku menembangkan lagu yang begitu menyayat sembilu. Merekalah yang menemaniku, dalam sepiku, dalam mimpiku, dalam tawaku, dan dalam tangisku.

“Hi.. mengapa kau mengacuhkan kami?” Tanya Cinta.

“Kami masih ingin bersamamu, katamu kau akan menjaga kami sampai kapanpun” sahut Rindu.

“Mari kita menembang lagi, menembangkan lagu rindu, lagu cinta, dan lagu kecewa. Kau pasti suka itu” tambah Cinta.

“Mengapa kalian masih mengikutiku?” tanyaku dengan tersenyum.

“Karena hatimu mudah menghafalkan lirik nyanyian kami, kau begitu menghayatinya” cinta menjawab sembari memainkan jemari tangannya.

“Apa kau sudah tak merindukannya lagi?? Mengapa kau tak menembangkan lagu kami lagi? Kami masih ingin bersamamu. Ayolah, mari kita bernyanyi seperti biasanya. Tak peduli siang, malam, sendiri, ramai, sedih maupun senang” Rindu ikutan merengek di depanku.

“Apa kau tau perasaan Tuanmu? Apa Tuanmu mendengar nyanyian kita? Apa Tuanmu peduli dengan tembangan kita, meski kita terisak hingga dada ini semakin sakit dan sesak?” tanyaku pada mereka.

“Kami tak tau, yang kami tau kau harus menembang bersama kami lagi” jawab mereka serentak.

Aku menggeleng, “tak semudah itu lagi Cinta, Rindu. Belum tentu Tuanmu senang mendengar kita menembangkan lagu itu, kita tak boleh memaksanya. Bukankah kalian ingin Tuanmu bahagia??”

“Kami ingin Tuanku bahagia” Rindu menjawab dengan suara yang amat parau, sedangkan Cinta hanya menatapku. Yaa… aku mengerti maksud mereka, tapi aku tak boleh egois. Aku kembali terdiam, menatap mereka satu persatu. Sang pohon kembali memainkan ranting dan dahannya, saling bergesekan, menciptakan suara yang begitu merdu. Ku rasakan jantungku berdesir, lalu aku terduduk di akar yang menonjol di permukaan tanah yang ku tapaki.

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” Cinta kembali mengusikku dan aku hanya menggeleng lemah, “aku tak tau Cinta.”

Kami kembali tenggelam menyelami samudera hati, ku alihkan pandanganku pada sehelai daun yang telah kering. Namun, tetap saja aku tak bergeming dari tempat dudukku dan aku tetap tak tau apa yang harus ku lakukan.

“Apa kau akan meninggalkan kami??” Rindu menarik lenganku, ku lihat wajahnya sendu, iba aku menatapnya. Namun aku tetap diam karena aku pun tak mampu menjawabnya, lalu aku menatap langit.

“Mengapa alam merenung, apa yang kau fikirkan?” Tanya Cinta sambil menatap sekeliling kami.

“Kami terharu dengan kalian, kalian jangan berpisah” jawab sang ranting.

“Tapi kami tak tau perasaan Tuanku yang sebenarnya” Rindu menyahuti.

“Biarkan hatimu mengalir gadis, biarkan dia menyusup, mencari celah dalam hatimu. Pasang surut itu biasa, itulah warna kehidupan. Kau harus mengakuinya” Sang Tanah ikut berbicara.

“Biarkan hati yang menggoreskan tinta kehidupanmu, biarkan hati yang memilih warna apa yang terbaik di hidupmu” daun pun tak ingin ketinggalan.

“Kau harus kuat Gadis, buktikan padanya kalau kau bisa seperti apa yang ia katakan” sambung Rumput.

Angin kembali membelai kami, hadir di tengah-tengah kegalauan kami. Pohon kembali memainkan music instrumentnya, menggelitik daun-daun yang bernyanyi. Aku terpejam, jantungku berdetak kuat, nadiku berdenyut, namun nafasku tetap tenang, ku rasakan darah mengalir begitu cepat. Ku dengar nyanyian Rindu, nyanyian Cinta, nyanyian kecewa, dan perlahan aku mengikutinya, meresapi setiap kata demi kata… aaaaarghz…. Indah, bahagia, sedih, kecewa, letih, cinta, rindu berkecamuk dalam anganku.

“Insya Allah, aku nggak akan ngecewain kamu…” kata itu kembali terngiang dalam ingatanku, “Aku akan menunggumu.... Jangan nakal di sana…. Baik-baik ya sayang…. Kamu tetap nggak berubah, tetap kayak anak kecil… Asal kamu tau, aku kecewa ma kamu…. Kamu nggak bisa berubah… Kamu belum berubah… Lagipula kita berjauhan.. kita jarang bertemu… Kamu belum dewasa… Aaaaaaaaaarrgggghzz…..” aku terpekik, lalu aku terjerembab dari dudukku dan segera ku raih pohon di sampingku. Lagi-lagi aku menangis, aku menjambak rambutku, aku berteriak, ku biarkan hatiku berkecamuk sekacau-kacaunya, ku biarkan pula mutiara-mutiara ini kembali menyapa dunia, jantungku semakin berdegup keras, hingga ku raih batu di depanku dan ku lemparkan jauh hingga batu itu melayang dan ntah dimana batu itu mendarat. “Gag adiiiilllllllll…. Napa kamu nggak ajarin aku untuk mematikan hati ini???” aku berteriak di tengah isakku. Ku luapkan segala kekesalan dan perasaan ku kali ini, ku biarkan semuanya mengalir apa adanya. Hingga tanpa tersadar, aku tertidur, tidur yang teramat dalam.

Perlahan aku terbangun, ketika aku mendengar suara Rindu dan Cinta saling bercanda dan tertawa. “Rindu, Cinta….” Panggilku.

“Ya Gadis, ah rupanya kau telah bangun” jawab mereka.

“Pulanglah kalian, pulanglah pada Tuanmu. Sampaikan salamku untuknya, jaga Tuanmu baik-baik” terangku sambil tersenyum.

“Kenapa?? Apa kau bosan pada kami?” Tanya mereka.

Aku menggeleng lemah, “Tidak, aku tak pernah bosan padamu. Hadirmu selalu berarti untukku, kau adalah inspirasi dan semangatku.”

“Lalu mengapa kau menyuruh kami pergi??”

“Karena kalian bukan milikku lagi, aku tak pantas memilikimu. Pulanglah pada Tuanmu, karena hanya dengan itu, Tuanmu bisa bahagia”

“Bagaimana bila kami merindukanmu??”

“Kau bisa menembangkan lagu yang sering kita tembangkan”

“Apa kau akan merindukan kami lagi, atau kau akan melupakan kami?”

“Kau akan tetap terukir di sini, sampai kapanpun itu” aku menjawab sembari menunjukkan hatiku. Ku lihat Cinta dan Rindu tersenyum.

“Baiklah kalau itu pintamu, aku akan menjaga Tuanku seperti apa yang kau mau” Cinta dan Rindu segera memelukku erat, mereka menangis.. yaa.. mereka menangis… dan segera ku hapus air mata mereka. “Gadis, apa benar kamu menyuruh kami kembali karena Tuanku yang melupakanmu??” Tanya Cinta disela isaknya.

“Aku menyuruhmu pulang, karena aku sadar.. hadirku di kehidupan Tuanmu hanya akan menambah beban, biarkan dia bebas menjalani kehidupannya” jawabku. Ku tatap langit semakin gelap, rintik mulai turun seakan alampun ikut menangis. Ku lepaskan pelukanku pada Cinta dan Rindu, ku biarkan mereka terbang kembali pada Tuannya. Di kejauhan ku lihat mereka melambaikan tangannya dan tersenyum ke arahku, aku membalasnya sembari berharap semoga hari ini benar-benar awal hidupku yang baru.

MAAFKAN AKU YANG TAK SEMPURNA

Sudah dua hari aku mengurung di kamar untuk meratapi nasib ku yang selalu dikatakan seperti anak kecil padahal sekarang umurku sudah 18 tahun. Tomy pun juga sepertinya sudah tak perduli dengan ku, dia selalu menuntutku untuk lebih dewasa dan mandiri. Mungkin semua ini terjadi akibat didikan dari orang tua ku yang selalu over protective dan terlalu memanjakan aku, tapi aku juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan ke dua orang tua ku. Aku sudah tidak tahu apalagi yang harus ku lakukan untuk membuat semua menjadi berubah lebih baik. Berkali mencoba untuk berubah seperti apa yang dikatakan Tomy. Namun tetap saja tak ada hasilnya bagi Tomy, meskipun menurutku sudah ada sedikit hasil. Aku dan Tomy sudah sembilan bulan jadian dan selisih umur kami adalah empat tahun, mungkin ini penyebabnya sehingga Tomy tidak bisa melihat perubahan pada diriku meski itu hanya kecil sekali yang bagiku sangat berarti karena dia selalu menganggap itu masih seperti anak kecil.

“Windy sayang, kok ngurung kamar terus sih? Ada apa, cerita dong sama mama?” mama berteriak di depan kamar ku seraya mengetuk pintu, yang semakin membuat ku kesal karena sudah mengganggu ku.

“Windy, kenapa sih anak papa jadi pemurung gini? Ada masalah ya sama Tomy, jangan gitu dong sayang. Inget, di dunia ini cowok nggak cuma satu. Ayo keluar sayang” tiba-tiba suara papa juga terdengar ikut-ikutan mama. Aku segera keluar menemui mama dan papa dengan malas-malasan.

“Nah gitu dong sayang, ya ampun mukanya kusut banget. Sekarang mau mandi dulu atau sarapan dulu?” Tanya mama sambil membelai rambutku, ku lihat adik ku sedang makan dengan lahap di meja makan.

“Windy mau mandi dulu” jawab ku, dan langsung pergi ke kamar mandi sedangkan mama dan papa masih bingung melihat perubahan pada diriku.

************************************

Selesai mandi aku segera menghampiri mereka ke meja makan untuk sarapan bersama.

“Kak, kenapa sih kok mukanya di tekuk gitu?” Tanya adik ku dengan polosnya.

“Nggak apa-apa, sudah makan saja” jawabku ketus, lalu menyendokkan nasi ke mulutku. Baru tiga sendok aku makan, HP ku berdering, saat ringtone nya lagu Gita Gutawa “Aku Cinta Dia” dengan segera aku berlari meninggalkan meja makan karena yang menelfon adalah Tomy, kalau yang lain sih nggak ku gubris.

“Hallo Tom” sapa ku dengan agak malas-malasan.

“Ndy, bisa nggak kita ketemu ntar jam satu di café biasa?” Tanya Tomy.

“Bisa” jawab ku.

“Ya sudah, sampai ketemu nanti”

“Kamu nggak jemput aku Tom?” Tanya ku dengan hati-hati.

“Nggak, aku lagi banyak kerjaan di kampus. Bisa berangkat sendiri khan?” jawab Tomy dengan dingin.

“Ya, aku bisa sendiri” lalu ku matikan telfon darinya, dengan malas-malasan aku kembali ke meja makan untuk melanjutkan sarapan ku. Namun, pikiran ku hanya tertuju pada Tomy yang sepertinya nanti siang akan membahas masalah kami dengan serius, dan satu hal yang ku takuti adalah berpisah dengannya. Aku sangat sayang sama Tomy, tapi dirinya selalu menuntut agar aku lebih baik lagi. Aku sudah berusaha Tom, tapi kenapa kamu nggak mau mengerti dengan keadaan ku. Triiing…. Aku tersadar dari lamunanku ketika sendok ku membentur piring yang ternyata nasi ku sudah habis, aku hanya tersenyum kecut lalu bergegas pergi ke kamar meninggalkan mama, papa dan adik ku yang masih bingung melihat tingkah ku.

*********************************

Arloji ku sudah menunjukkan pukul 13. 18 ketika aku sampai di café, ini berarti aku sudah telat delapan belas menit. Ku harap Tomy bisa mengerti dengan keadaan ku, tapi entahlah.

“Kamu telat delapan belas menit” Tomy langsung menegur ku saat baru sampai di café yang membuat ku semakin tak ada nyali untuk memberikan alasan.

“Maaf Tom, tadi aku”

“Aku nggak perlu alasan” tiba-tiba Tomy memotong pembicaraan ku, tidak seperti biasanya dan aku hanya bisa tertunduk tak berani melihat mukanya.

“Sepertinya kita harus jalan sendiri-sendiri dulu, aku ingin kamu berubah” sambung Tomy dengan suara yang berat dan aku semakin terkejut.

“Apa itu berarti kita putus?” Tanya ku dengan terbata-bata.

“Kamu senang kalau kita putus?” Tomy malah balik Tanya sehingga aku semakin bingung harus mengatakan apa.

“Nggak, aku masih sayang banget sama kamu Tom. Aku nggak mau pisah dari kamu.” Jawab ku sambil mengenggam tangannya dan menatapnya dalam-dalam.

“Kirain kamu bakal suka banget, Hmm maksud ku hubungan kita digantung dulu” kata-kata itu langsung keluar dari mulut Tomy yang sepertinya sangat mudah untuk mengucapkannya.

“Apa Tom?? Digantung, sampai kapan?” aku semakin tak mempercayai semua yang terjadi pada hubungan kami saat ini.

“Sampai kamu benar-benar berubah, kamu sadar nggak sih kalau selama ini kamu itu terlalu manja, nggak bisa mandiri, nggak pernah mau ngerti sedikitpun dengan aku, aku capek kalau kamu terus-terusan kayak gini” Tomy menjelaskan dengan menatap ku dalam-dalam yang membuatku seakan-akan hati ku tertusuk oleh tatapannya. Aku hanya terdiam tak dapat berkata apa-apa, hanya air mata ku yang dapat berbicara di saat ini.

“Nggak usah nangis” Tomy mengangkat dagu ku dan aku hanya terisak-isak menahan tangis ku yang benar-benar ingin meledak. “Jadi cewek jangan terlalu lemah dan cengeng, aku nggak suka. Kalau kamu kayak gini terus kapan kamu bisa berubah?” sambung Tomy.

“Aku nggak percaya saja, kalau kamu tega ngegantung hubungan kita” jelasku sambil memegang tangannya, lalu aku memeluknya dengan erat seolah tak ingin melepasnya lagi dan Tomy menyambut pelukan ku dengan hangat yang semakin membuat ku terisak, lalu Tomy mencium keningku lama sekali dan aku hanya bisa pasrah menangisi ini semua yang terjadi pada ku.

“Ini semua demi kebaikan kita sayang” ucap Tomy sambil membelai rambutku. “Ku rasa ini memang yang baik untuk kita, kita coba dan berusaha dulu. Sudah dong nagisnya, aku antar kamu pulang ya, sudah sore ntar kena marah sama mama kamu” aku hanya mengangguk tanda setuju untuk pulang bukan untuk menggantungkan hubungan kami.

******************************************

Sudah dua minggu kami tak ada hubungan, ini sih sama saja putus, bedanya harus megang komitmen untuk tetap mempertahankan cinta kami. Huftz.. aku menarik nafas dalam. Ku raih HP ku untuk menelfon Tomy.

“Hallo, ada apa Ndy?” suara Tomy kembali ku dengar setelah dua minggu tak mendengar suaranya lagi.

“Tom, aku ingin bertemu sama kamu. Ada yang ingin ku katakan padamu”

“Oh.. Ok.. di mana dan jam berapa?”

“Di tempat biasa, jam empat sore”

“Ok.. aku akan datang. Sampai ketemu nanti ya” telfon ku langsung dimatikan oleh Tomy, aku sangat sedih. Ku pikir setelah dua minggu tak ada komunikasi, dia bakal kangen sama aku tapi ternyata tak ada kata-kata I M U ataupun I L U seperti yang ku harapkan, semua biasa. Aku semakin sedih.

********************************************

Kali ini aku berangkat lebih awal, karena aku tak mau kalau aku harus telat lagi seperti dulu. Sepuluh menit kemudian Tomy datang.

“Hi.. gimana kabarnya?” Tanya Tomy, sikapnya benar-benar seperti bertemu dengan seorang teman yang sudah lama tak berjumpa.

“Baik” jawab ku dengan suara parau.

“Ada apa?” Tomy langsung menanyakan ke inti permasalahan tanpa ada pelukan kangen, ataupun canda tawa seperti dulu.

“Tom, aku rasa aku sudah berusaha semampu aku untuk berubah dari dulu. Tapi kamu selalu mengatakan jika aku tak pernah berubah. Kamu selalu menuntutku lebih, aku sudah nggak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menjadi apa yang kamu mau. Aku nggak sejalan dengan pola fikiran mu, aku sayang banget sama kamu, bahkan terkadang aku membuat mimpi yang sepertinya nggak mungkin ku capai yaitu ingin hidup bahagia selamanya sama kamu. Tapi aku nggak sempurna buat kamu, mungkin lebih baik kalau kita putus. Kamu bakal dapat yang lebih sempurna seperti apa yang kamu harapkan, sampai kapanpun rasanya aku nggak bisa untuk mewujudkan mimpi kamu. Terimakasih buat semuanya” aku pun langsung menjelaskan semuanya pada Tomy, dia hanya terdiam tak ada kata-kata sedikitpun yang diucapkannya. Setelah lima belas menit berdiam diri, aku pun segera pulang meninggalkan Tomy menyendiri di café kenangan ku bersama Tomy.

Dua tahun telah berlalu, dan kini ku lihat di café ini, Tomy menggandeng mesra dengan seorang cewek yang cantik, sepertinya seumuran dengan Tomy. Aku hanya bisa tersenyum menyaksikan semua ini, sedangkan hingga saat ini aku tetap menyendiri tak mencoba untuk memulai hubungan baru dengan orang lain karena di hati ku masih ada nama Tomy yang belum bisa ku hapus hingga saat ini.

Maafkan aku yang tak sempurna, andai saja aku sempurna dan bisa menjadi apa yang kau inginkan pasti aku masih bersama mu untuk selamanya dan cinta ku tak kan pernah tergantikan dengan cinta lainnya.