Malam begitu kelam, rintik hujan mengguyur sejak sore, gelegar nan di cakrawala bagaikan kilauan pijar yang saling bersahutan, dan kini angin pun ikut menyemarakkan seolah tak ingin ketinggalan dari dahsyatnya pesta alam yang semakin mencekam.
Di sudut terminal, duduklah seorang gadis yang nampak semakin lusuh, hanya sinar mata yang masih mampu mengisyaratkan betapa tinggi semangat untuk menjalani hidup. Dinginnya malam tak ia hiraukan, matanya terus mengawasi di kegelapan malam laksana seekor serigala yang mengincar mangsanya.
Sesekali ia membuka lembaran surat yang telah lusuh dan di bagian tengahnya yang koyak karena seringnya dibaca dan dilipat. Mulutnya yang mungil kembali menembang sebuah lagu yang tiada bosan ia tembangkan setiap saat. Bis demi bis, detik demi detik, tak lelah jua ia menanti sang pujaan hati. Genap sudah 1 tahun ia menunggu di terminal ini, namun yang ditunggu pun tiada pernah kunjung.
Tanggal 2 Agustus aku datang, tunggu kedatangan ku ya.
Aku akan menjemputmu dan ku perkenalkan dengan orang tua ku
Begitu isi surat itu, hingga tanggal 2 Agustus yang kedua kalinya belum juga Nampak sang pujaan hati. Dan kini hari demi hari, bulan pun silih berganti hingga tanggal 2 Agustus yang ketiga kalinya, sang gadis tetap menanti dengan setia di terminal ini.
“Laras, sudah malam. Nggak baik malam-malam masih duduk di terminal” sapa pak Tomo sambil membereskan dagangannya. Sang gadis yang disapa hanya tersenyum dan mengangguk, tak menunggu dua kali teguran, Laras pun segera bangkit menuju gubuknya di pinggir kota.
“Kasihan Laras, hidup sebatang kara, punya kekasih tapi ditinggal pergi. Aaaaarghzz….” Keluh pak Tomo sambil mengelus dadanya, tak tahan rasanya ia membiarkan Laras hidup luntang-lantung seperti ini. Namun, apa daya pak Tomo pun juga orang susah, untuk menghidupi keluarganya pun terasa mencekik dirinya. Hanya do’a dan semangat jua yang selalu ia berikan pada Laras.
************************************************
Di dalam rumahnya, Laras hanya tiduran di tikar yang lusuh di sudut ruangan gubuknya. Perih batin yang ia rasakan, namun ia genggam kuat dan sebisa mungkin ia tetap bertahan.
“Aku tak boleh menyerah, aku yakin mas Arif pasti menepati janjinya” bisik Laras seolah kata itu untuk menguatkan dirinya sendiri, meski rasanya mustahil namun ia harus tetap yakin. Tak terasa ia pun ikut larut dalam gelapnya malam, untuk bersemayam di istana mimpinya.
Pagi sekali Laras kembali bangkit dari peraduannya, menyiapkan segala keperluan dagangannya untuk dibawa ke pasar. Jika dagangannya habis, ia kembali duduk di sudut terminal terkadang pula ia ikut membantu pak Tomo berjualan. Di dunia ini ia merasa kuat karena kasih sayang keluarga pak Tomo yang diberikan padanya, namun jauh di lubuk hatinya, hatinya terasa perih dan hancur.
“Tuhan kasih aku kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan untuk menjalani hari-hari ku. Ku yakin, semua ini kan berakhir dengan indah. Ku yakin, Kau pasti akan memberikan yang terbaik untuk hidup ku baik di dunia maupun di akhirat.” Lantunan sebait do’a yang ia ucapkan di setiap waktu, dan setiap itu pula air mata selalu mengucur deras menggenangi wajahnya yang manis.
Kembali ia menerawang menatap kosong di langit, bibirnya menyungging senyum penuh arti kemenangan seolah ia mendapatkan jawaban dari do’a yang selalu ia ucapkan. Lalu dengan cepat ia berlari menyusuri terminal tua ini dengan nafas yang memburu.
Braaaaaaaagg……….
Suara tabrakan yang berdenting keras mengagetkan seluruh pengguna terminal.
“Liat-liat dong mbak kalau jalan” seorang pemuda berwajah tampan yang sepertinya berasal dari luar kota meneriaki Laras yang juga terhuyung hingga kepalanya terbentur tembok.
“Maaf mas” balas Laras seraya menundukkan kepalanya tak berani menatap mata pemuda itu, dan bergegas ia kembali berlari. Ntah apa yang ia kejar, namun hatinya benar-benar merasa ringan dan bahagia. Laras berlari tanpa arah dan tujuan, ia masih tetap menggenggam erat surat sang pujaan hati yang selalu ia nantikan, matanya berbinar, bibirnya menyungging senyum kebahagiaan. Ingin rasanya ia menjerit, melepaskan semua beban yang ia pikul selama ini. Di depan pasar ia terhenti, ketika mendengar suara teriakan bu Tomo. Laras tersenyum, dan saat itu juga ia merasakan guncangan hebat pada tubuhnya. Seolah ia dapat merasakan betapa kuatnya rotasi bumi yang selama ini belum pernah ia rasakan. Sekejap saja ia sudah merasakan tubuhnya serasa melayang, sesak di dada kembali muncul sehingga ia benar-benar tak dapat bernafas, gaduhnya suara orang lalu lalang semakin terdengar riuh hingga semua benar-benar terasa senyap dan gelap.
“Laraaasssss…………..” pekik bu Tomo, semua dagangan yang ia gendong serta merta ia lempar ketika menemukan tubuh Laras bersimbah darah. Hingga akhirnya sebuah Ambulance datang dan membawanya pergi.
************************************************
Tiga bulan telah berlalu, kini Laras kembali tersenyum dan kembali duduk di sudut terminal memandang keadaan sekitar dan ditemani pak Tomo yang sedang menggelar dagangan makanannya di terminal. Peristiwa kecelakaan itu membuat pak Tomo dan bu Tomo semakin sayang pada Laras, dan kini Laras telah diangkat menjadi anaknya. Bahagia rasa hati Laras, namun ia tetap setia menanti pujaan hatinya dengan hati yang kuat.
“Pak” panggil Laras pada pak Tomo.
“iya, ada apa nak? Katakan sama bapak” jawab pak Tomo dan segera mendekatinya.
“Bila bertemu mas Arif katakan padanya, aku tetap menanti dia” sambung Laras. Kemudian Laras pun memejamkan matanya dan lagi-lagi bibirnya tersenyum manis. Kertas surat yang ternoda darah saat kecelakaan tiga bulan yang lalu tetap ia genggam, hingga akhirnya kertas itu terlepas dari genggamannya. Pak Tomo hanya merunduk sesenggukan dan memegang erat tangan Laras, entah mengapa rasanya ia begitu mengikhlaskan kepergian Laras. Mungkin hanya dengan ini, penderitaan Laras di dunia akan berakhir.
“Semoga engkau bahagia di sana nak” ucap pak Tomo disela tangisnya, hingga tanpa disadari dua pasang mata ikut menangis di belakang pak Tomo ikut melepas kepergian Laras. Itulah bu Tomo dan seorang pemuda yang pernah Laras tabrak sebelum peristiwa kecelakaan itu.
“Pak, saya turut berduka cita. Saya Antoni, keponakannya mas Arif. Maaf saya baru bisa menemukan mbak Laras, karena saya benar-benar tidak mempunyai petunjuk untuk menemuinya. Sebenarnya mas Arif sudah meninggal sejak tiga tahun yang lalu, dia kecelakaan ketika akan berangkat ke sini, dan saya hanya diberi pesan untuk datang ke kota ini menemui mbak Laras. Tapi ternyata saya pun juga terlambat”, pemuda itu menerangkan pada pak Tomo sambil sesenggukan, begitu pula dengan pak Tomo dan bu Tomo, mereka hanya bisa pasrah dengan takdir. Tak ada kata yang terucap, hanya air mata yang sanggup berbicara menggambarkan suasana hati mereka saat ini.